daerah domisili dayak jangkang


Dayak jangkang adalah salah satu suku dayak di kabupaten sanggau yang wilayah penyebaran dan pendudukanya cukup banyak, hampir sebanding dengan dayak mualang di kabupaten sekadau dan dayak hibun di kabupaten sanggau, suku yang umunya bermukim di bagian utara kabupaten sanggau tepatnya di empat kecamatan yaitu Kec. Jangkang, Kec. Mukok dan sebagian Kec. Bonti dan kec. kapuas adalah basis dari Suku Dayak Jangkang ini. Selain itu mereka juga bermukim di antara 2 sungai besar, yaitu sungai sekayam dan sungai mengkiang (anak sungai sekayam) dan juga tersebar di beberapa daerah sungai kecil salah satunya termasuk sungai jangkang yang terdapat di kampunag jangkang benua .
sekarang orang jangkang sudah menyebar ke berbagai penjuru di indonesia diantaranya ada yang di pontianak. Di pontianak jumlah orang jangkang yang menetap di kota katulistiwa ini setiap tahunnya bertambah, baik dari kalangan mahasiswa yang ingin kuliah maupun yang ingin mencari kerja. Sehingga jika dikumpukan orang jangkang yang ada di pontianak hingga saat ini bisa menjadi satu kampung atau dua kampung.
Ada beberapa ahli yang sempat meneliti tentang suku daya ini Tapi, tak satupun yang otentik dan menyangkut seluruh sendi kehidupan masyarakat Suku Dayak Jangkang.

Related Posts:

Display Budaya Pekan Gawai Dayak 2009


Hentakan drum band siswa SMA St. Paulus Pontianak terasa keras terdengar di telingaku mengiringi kegiatan Display budaya pada acara Pekan Gawai Dayak pada hari Rabu tanggal 20 Mei 2009. Persiapan display dimulai dari jam 10.00 WIB. Berbagai jenis mobil yang dihiasi tampak seperti barisan semut menutupi ruas Jalan Sutoyo pada saat itu. Ada satu hal yang menarik bagi saya pada saat itu ketika saya melihat beberapa orang berjalan membawa mandau (senjata kas Dayak) menggunakan cawat dengan seluruh tubuh ditutupi dengan tato membuka acara display budaya tersebut. Pada saat itu jam menunjukan pukul 13.00 WIB. Sungguh mengagumkan, melihat hal itu saya jadi berpikir betapa tradisionalnya orang-orang zaman dahulu sehingga untuk menutupi tubuhnya pun mereka menggunakan kulit kayu.

Jam sudah menunjukan Pukul 13.15 WIB. Kulitku terasa sakit sekali disengat sinar matahari . Namun hal itu tidak mengurung niatku untuk mengabadikan kegiatan tersebut di kameraku. Begitu juga dengan para wartawan yang meliput kegiatan tersebut mereka tampak antusias meliput kegiatan tersebut. Adapun peserta yang ikut dalam kegiatan display budaya pada pekan gawai dayak tahun ini adalah anggota sanggar yang bernaung di dalam Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) dan peserta dari berbagai Kabupaten di Kalimantan Barat diantarnya Kabupaten Sanggau dan Sekadau, selain itu ada juga pemadam kebakan dari Yayasan Bakti Suci, siswa SMA Santo Paulus Pontianak, dan Forum Komunikasi Kamuda Moreng. Uniknya para peserta pawai tersebut menggunakan pakainan tradisional Dayak yaitu cawat dan rompi yang terbuat dari bahan kulit kayu. Betapa kagumnya diriku melihat berbagai atraksi yang di tunjukan oleh para peserta. Tidak kalah juga anak-anak kecil ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Para peserta dari Yayasan Bakti Suci Pontianak juga turut ambil bagian dalam memeriahkan kegiatan ini. Mereka mempertunjukan barongsai dan naga dalam acara tersebut. Alunan gendang yang ditabuhkan para peserta dari Yayasan Bakti Suci membuat para pemain barongsai dan naga semakin bersemangat. Selain itu mereka juga membawa mobil kebakaran yang mereka miliki dalam display budaya.

Kemeriahan ini semakin bertambah takkala pada saat salah satu dari sanggar yang ikut dalam display budaya tersebut mempertunjukan tarian khas suku mereka. Karena terharunya saya, sengatan sinar matahari yang menyengat tubuhku pun tak terasa lagi.

Lebih unik lagi peserta dari Sanggau, pada saat display budaya tersebut mobil mereka hias seperti lumbung padi yang dalam bahasa Dayak Sanggau disebut jurokng. Penampilan dari mereka memang berbeda dengan yang lain hal ini dikarenakan para peserta yang menggunakan topeng yang mirip hantu yang menjaga lubung padi tersebut dan berjalan beriringan bersama dengan lumbung tersebut. Betapa terkejutnya para penonton yang melihat hal tersebut bahkan ada yang lari karena ketakutan melihatnya. Saya tertawa melihat atraksi yang mereka suguhkan kepada para penonton, tingkah laku mereka sangat lucu sekali walaupun mereka tampak seram karena menggunakan topeng yang mirip seperti hantu.

Pandangan mata para penonton yang ada di sekitar jalan terfokus pada para peserta display budaya pada saat itu. Masyarakat Pontianak yang melintasi jalan tersebut sempat mengabadikan kegitan tersebut menggunakan kamera dan HP nya. Betapa senangya saya melihat para penonton yang begitu banyak dan antusias menonton kegiatan tersebut. Bukan hanya penduduk setempat saja yang nonton kegiatan ini tetapi ada juga yang berasal dari luar daerah. Ada juga para turis yang menonton. Mereka sempat mengabadikan kegiatan ini di kameranya.

Adapun rute yang dilalui dalam acara display budaya tersebut yaitu dari rumah betang panjang di Jalan Sutoyo dilanjutkan melalui Jalan A. Yani belok di depan Kompleks Persekolahan Kristen Abdi Wacana, memasuki Jalan Veteran dilanjutkan lagi melewati Jalan Flamboyan terus melintasi Jalan Tanjung Pura dan memutar ke Jalan Gajah Mada dan berakhir di Rumah Betang Panjang di Jalan Sutoyo. Betapa jauhnya perjalannya namun hal itu tidak membuat saya capek karena rasa capek yang saya rasakan terobati setelah melihat berbagai atraksi yang saya lihat sepanjang perjalanan tersebut.

Suasana jalan pada saat itu sangat macet terutama di jalan A. Yani dan Veteran. nampak juga di pinggir jalan bekas penggalian untuk memasang pipa oleh PDAM Kota Pontianak. Pipa-pipa besar bagaikan batang pohon kayu yang terletak di pinggir jalan dan parit-parit yang sedang di gali membuat sebagian ruas jalan yang dilewati para peserta display budaya menjadi sempit sehingga membuat para pengguna jalan harus bersabar. Walupun situasi jalan pada saat itu macet tidak membuat para pengguna jalan menggeluh tetapi mereka juga dapat sambil menonton kegiatan tersebut.

Kemacetan juga terjadi di Jalan Gajah Mada hal ini dikarenakan kondisi Jalan Gajah Mada tersebut merupakan jalan yang ramai sehigga para peserta display budaya dan para pengguna jalan yang lain harus bisa saling berbagi. Suasan yang panas tidak menghalagi para penonton untuk menyaksikan acara tersebut. Begitu juga dengan para pesrta display budaya walupun perjalanan sudah jauh namun mereka tidak henti-hentinya untuk memperlihatkan kebolahan mereka melaui atraksi tari-tarian yang peragakan pada saat display budaya tersebut.

Tidak kalah juga para Pemuda Moreng juga ikut dalam memeriahkan kegiatan tersebut. Mereka ada yang menggunakan mobil ambulan dan sepeda motor. Para pemuda tersebut sangat antusias mengikuti kegiatan tersebut hal tersebut terbukti ketika mereka meneriakan yel yel, hal itu sangat membuat ku terharu perjalan yang jauh dan cuaca yang panas tidak membuat semangat luntur untuk tetap meneriakan yel yel. Sungguh luar biasa semanggat muda mereka. Saya kagum pada semanggat mereka.

Setelah sekian jauh berjalan akhirnya sampai juga ke tempat tujuan akhir yaitu Rumah Betang Panjang di Jalan Sutoyo. Walaupun sudah sampai namun semangat para peserta tidak pernah hilang mereka tetap bersemangat walaupun telah menempuh perjalana yang sangat panjang.

Related Posts:


Tato adalah Identitas Budaya

Abad demi abad ditandai oleh berbagai tanda dan simbol. Tato dengan dinamikanya, adalah juga merupakan penanda itu. Bahwa kemudian ia mengalami berbagai kontradiksi adalah perkara yang lain dan berbeda. Ia bagian dari sejarah peradaban manusia. Dalam kesenian khususnya seni rupa, ia menjadi sebuah media tua yang kini tumbuh kembali sebagai jejak seni yang memanfaatkan tubuh sebagai media sebelum modernisme. Fenomena itu tak hanya terjadi di Indonesia khususnya Kalimantan Barat. Ia melanda seluruh belahan muka bumi yang demam fenomena budaya populer.
Tato dalam masyarakat Dayak baik Iban, Kayan (atau yang lain) yang dahulu sebagai penanda ritual, status, dan identitas kelompok tak lagi dipertahankan sesuai dengan konteks aslinya. Namun tato tetap bukan produk modernisme, ia lahir dan berasal dari budaya pedalaman, tradisional bahkan kuno. Ia hanya mengalami reborn, kelahiran kembali ditengah masyarakat saat kaum muda dengan lebih berani mengenakannya tanpa mengenal batas geografis, ideologi, etnik, gender, ras.

Bagi Kalimantan Barat, tato tradisi Dayak dan orang yang mengenakannya sesungguhnya adalah sebuah aset budaya. Walaupun kini patut disayangkan tak banyak lagi yang mengenakan pantang tradisi, namun eksotisme dan makna sesungguhnya patut dihargai. Berkurangnya minat generasi muda Dayak menyandang tato tradisi tak lepas dari kesadaran baru masyarakat, masuknya agama besar dalam tatanan hidup masyarakat. Namun yang paling membuat orang berfikir untuk bertato adalah fenomena “pembudayaan” Orde Baru bagi masyarakat, khususnya Dayak. Saya tidak mempunyai cukup pengetahuan dan data tentang apa yang terjadi di Kalimantan saat itu, namun dengan semakin mudahnya akses informasi mengenai seluruh rangkaian kejadian tersebut dapatlah saya bayangkan bagaimana kecemasan beberapa warga Dayak yang terlanjur bertato karena tradisinya. Perlakuan diskriminatif ini tak hanya menjadi sebuah ketakutan yang sengaja disebarkan, bahkan untuk menjadi seorang Pegawai Negeri konon tidak diperkenankan bertato. Bagi masyarakat yang memiliki tradisi tato ini tak hanya diskriminatif, namun menganggapnya tak ada. Sebuah hasil seni tradisi, jauh sebelum Indonesia merdeka dan identitas budaya serta merta terseret menjadi lambang kriminalitas, dan stigmatisasi itu hidup hingga kini.

Apa yang terjadi ditengah masyarakat muda saat ini di Kalimantan Barat (terutama kaum muda Dayak), sesungguhnya adalah sebuah pencarian baru, aktualisasi diri atas identitas budaya dan kebanggaan sebagai empunya tradisi. Eksistensi tato tradisi saat ini memang tak lagi up to date untuk dibenturkan dengan kekinian. Selain dalam agama Islam, dalam agama Kristen juga terdapat himbauan dan larangan untuk tidak ber-tato agar mencerminkan manusia yang merupakan citra Allah, norma dan “kepantasan” yang tertanam dalam masyarakat juga demikian.

Sesungguhnya Agama dan Seni akan selalu memiliki batas yang abstrak. Seni dan kebudayaan merangkum semua pola pikir, aktivitas sosial hingga hasil dari aktivitas tersebut. Dalam hal ini agama juga dianggap merupakan hasil dari kebudayaaan manusia setara dengan kesenian.

Related Posts: