Dayak Jangkang adalah salah
satu subsuku Dayak di Kabupaten Sanggau.
Wilayah penyebaran dan penduduknya cukup banyak, hampir sebanding dengan Dayak Mualang dan Dayak Ribun.
Subsuku ini umumnya bermukim di bagian utara Kabupaten
Sanggau. Tepatnya di antara dua sungai besar, yaitu Sungai Sekayam dan
Mengkiang juga beberapa sungai kecil, termasuk Sungai Jangkang. Sungai Jangkang
itu lebarnya hanya ± 1,5 meter. Namun demikian, sungai ini tidak pernah
kering.Sumber mata airnya di Gunung Bengkawan.
Tidak diceritakan secara rinci apa yang terjadi di
balik cerita tentang sungai tersebut sehingga dijadikan dasar penamaan suku
tersebut. Keberadaan Dayak Jangkang atau acapkali juga dikenal obi’ Jongkakng,
di Kalimantan Barat ini bukanlah suku yang asing didengar.
Pada zaman perang antarsuku, Dayak Jangkang sangat
ditakuti oleh suku lain di Kabupaten Sanggau. Mereka juga dikenal sebagai
pengayau yang ulung. Mereka mengayau bahkan
hingga ke wilayah Sosok, Batang Tarang, bahkan ke wilayah Kabupaten Landak.
Pada zaman raja-raja berkuasa di Kabupaten Sanggau
(waktu itu Negara Indonesia belum ada) salah satu tokoh Dayak Jangkang yang
terkenal sakti bernama Macan Luar atau dikenal juga dengan nama Macan
Ke’ Gila. Pada masa tuanya ia bertingkah seperti orang gila dan menakuti
anak-anak. Ia pernah memimpin pasukannya menaklukkan Kerajaan Tayan dan Sekadau.
Oleh kehebatan Macan Luar inilah, panembahan Tayan
memberi gelar kepada Macan Luar sebagai Macam Muara Tayan Sengkuang Tajur.
Dayak Jangkang ikut mengukir sejarah Dayak terutama dalam peristiwa Pertemuan
Perdamaian Perang antarsuku yang dilaksanakan di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah
pada tahun 1894.
Pertemuan yang dihadiri tidak kurang dari 600-an orang
Dayak ini menjadi penting bukan karena kehadiran jumlah pesertanya yang begitu
banyak, namun karena dalam pertemuan ini suku Dayak seluruh Kalimantan berhasil
menyepakati untuk menghentikan peperangan antarsuku Dayak yang disebut
mengayau.
Orang Dayak Jangkang menyadari bahwa apa yang
dilakukan oleh sukunya pada saat itu tidak baik untuk diwariskan. Kesadaran
inilah yang menguatkan suku ini ikut ambil bagian dalam pertemuan Tumbang Anoi
tersebut.
Kelompok suku ini mengutus lima orang pemimpinnya yang
semuanya bergelar macan. Para pemimpin tersebut adalah Macan Natos (Ke’
Engkudu’) dari Empiang, Macan Luar (Ke’ Gila) dari Kobang, Macan
Talot dari Sekantot, Macan Mure dari Tebuas/Ketori, dan Macan
Gaing dari Terati. Kelima tokoh Dayak Jangkang ini sangat penting dalam
sejarah Dayak Jangkang. Sepulang dari pertemuan ini, kelimanya membuat semacam
kesepakatan dengan seluruh anggota masyarakatnya untuk menghentikan praktik
penganyauan.
Dayak Jangkang pada zaman dulu seolah-olah memiliki
pemerintahan sendiri atau kedaulatan wilayah adat yang cukup permanen. Kelompok
suku Dayak Jangkang yang tersebar dari Sungai Kapuas bagian kiri mudik terbagi
dalam tujuh wilayah ketemenggungan, satu wilayah pateh, dan satu wilayah
mangku. Tujuh wilayah ketemenggungan ini ialah sebagai berikut.
- Jangkang Kopa (Henua Kopa) yang meliputi sebelas kampung yang berpusat di Empiang.
- Jangkang Nsanong yang meliputi tujuh kampung yang berpusat di Terati
- Jangkang Engkarong yang meliputi sebelas kampung yang berpusat di Sekantot.
- Jangkang Ngkatat yang meliputi tujuh kampung yang berpusat di Ndoya
- Jangkang Junggur Tanjung yang meliputi enam kampung yang berpusat di Mpurang.
- Jangkang Seguna/Muko’ yang meliputi lima kampung yang berpusat di Seguna.
- Jangkang Kanan yang meliputi tujuh kampung yang berpusat di Tumbuk.
Wilayah pateh berpusat di Semirau. Wilayah
kepemimpinan seorang pateh di bawah temenggung. Pateh yang pertama adalah Pateh
Logau yang waktu itu memiliki wilayah yang meliputi sembilan kampung, yaitu
Kampung Semirau, Ensibau, Sekampet, Jambu, Semukau, Sentowa, Ketori, Tebuas,
dan Sabang. Wilayah mangku berpusat di Kobang. Wilayahnya meliputi enam
kampung, yaitu Kampung Kobang, Jangkang Benua, Penyu/Landau, Parus, Sebao,
Tanggung, dan Engkolai.