Tato adalah Identitas Budaya

Abad demi abad ditandai oleh berbagai tanda dan simbol. Tato dengan dinamikanya, adalah juga merupakan penanda itu. Bahwa kemudian ia mengalami berbagai kontradiksi adalah perkara yang lain dan berbeda. Ia bagian dari sejarah peradaban manusia. Dalam kesenian khususnya seni rupa, ia menjadi sebuah media tua yang kini tumbuh kembali sebagai jejak seni yang memanfaatkan tubuh sebagai media sebelum modernisme. Fenomena itu tak hanya terjadi di Indonesia khususnya Kalimantan Barat. Ia melanda seluruh belahan muka bumi yang demam fenomena budaya populer.
Tato dalam masyarakat Dayak baik Iban, Kayan (atau yang lain) yang dahulu sebagai penanda ritual, status, dan identitas kelompok tak lagi dipertahankan sesuai dengan konteks aslinya. Namun tato tetap bukan produk modernisme, ia lahir dan berasal dari budaya pedalaman, tradisional bahkan kuno. Ia hanya mengalami reborn, kelahiran kembali ditengah masyarakat saat kaum muda dengan lebih berani mengenakannya tanpa mengenal batas geografis, ideologi, etnik, gender, ras.

Bagi Kalimantan Barat, tato tradisi Dayak dan orang yang mengenakannya sesungguhnya adalah sebuah aset budaya. Walaupun kini patut disayangkan tak banyak lagi yang mengenakan pantang tradisi, namun eksotisme dan makna sesungguhnya patut dihargai. Berkurangnya minat generasi muda Dayak menyandang tato tradisi tak lepas dari kesadaran baru masyarakat, masuknya agama besar dalam tatanan hidup masyarakat. Namun yang paling membuat orang berfikir untuk bertato adalah fenomena “pembudayaan” Orde Baru bagi masyarakat, khususnya Dayak. Saya tidak mempunyai cukup pengetahuan dan data tentang apa yang terjadi di Kalimantan saat itu, namun dengan semakin mudahnya akses informasi mengenai seluruh rangkaian kejadian tersebut dapatlah saya bayangkan bagaimana kecemasan beberapa warga Dayak yang terlanjur bertato karena tradisinya. Perlakuan diskriminatif ini tak hanya menjadi sebuah ketakutan yang sengaja disebarkan, bahkan untuk menjadi seorang Pegawai Negeri konon tidak diperkenankan bertato. Bagi masyarakat yang memiliki tradisi tato ini tak hanya diskriminatif, namun menganggapnya tak ada. Sebuah hasil seni tradisi, jauh sebelum Indonesia merdeka dan identitas budaya serta merta terseret menjadi lambang kriminalitas, dan stigmatisasi itu hidup hingga kini.

Apa yang terjadi ditengah masyarakat muda saat ini di Kalimantan Barat (terutama kaum muda Dayak), sesungguhnya adalah sebuah pencarian baru, aktualisasi diri atas identitas budaya dan kebanggaan sebagai empunya tradisi. Eksistensi tato tradisi saat ini memang tak lagi up to date untuk dibenturkan dengan kekinian. Selain dalam agama Islam, dalam agama Kristen juga terdapat himbauan dan larangan untuk tidak ber-tato agar mencerminkan manusia yang merupakan citra Allah, norma dan “kepantasan” yang tertanam dalam masyarakat juga demikian.

Sesungguhnya Agama dan Seni akan selalu memiliki batas yang abstrak. Seni dan kebudayaan merangkum semua pola pikir, aktivitas sosial hingga hasil dari aktivitas tersebut. Dalam hal ini agama juga dianggap merupakan hasil dari kebudayaaan manusia setara dengan kesenian.

Related Posts:

0 Response to " "

Post a Comment